MEMBANGUN KARAKTER
PENDAHULUAN
Saat di layar televisi kita melihat berbagai tindak kekerasan, pelecehan seksual dan tindak kriminal lainnya yang terjadi baik dalam keluarga maupun di lingkungan lain, maka muncul pertanyaan di benak kita : ”Apa yang terjadi dengan bangsa kita? Pertanyaan yang sama juga muncul ketika kita mengetahui berbagai tindak KKN di lingkungan pemerintahan, BUMN, atau perusahaan swasta yang merugikan keuangan negara dalam hitungan yang tidak terbayangkan. Bahkan ketika gaji kita dipotong tanpa alasan yang jelas atau kepangkatan kita tertunda hanya karena kurang komisi. Apa yang didengar, dilihat dan dialami oleh kita tersebut mengacu kepada satu hal, yaitu karakter.
Permasalahan di atas terjadi disebabkan lemahnya pendidikan karakter di keluarga, di lingkungan dan di sekolah. Ketiga unsur tadi sangat mempengaruhi perkembangan karakter setiap individu. Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat sangat berperan dalam pembentukan karakter anggotanya pada saat bersosialisasi dengan lingkungan. Demikian pula sekolah sebagai bagian yang sangat penting dalam pembentukan karakter peserta didik, sehingga harus ada sinergi antara orang tua dan sekolah.
Karakter dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya, pembinaan karakter anak yang dilakukan oleh keluarga, macam-macam pola asuh anak, aspek-aspek penting dalam pendidikan anak juga implementasi pendidikan karakter dalam pelajaran bahasa Inggris di SMP merupakan bahasan yang cukup menarik untuk dikaji.
1. Karakter dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangannya
Karakter didefinisikan secara berbeda-beda oleh berbagai pihak. Sebagian menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif terhadap kualitas moral dan mental, sementara yang lainnya menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif terhadap kualitas mental saja, sehingga upaya mengubah atau membentuk karakter hanya berkaitan dengan stimulasi terhadap intelektual seseorang (encyclopedia.thefreedictionary.com, 2004). Coon (1983) mendefinisikan karakter sebagai suatu penilaian subyektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh masyarakat. Sementara itu menurut Megawangi (2003), kualitas karakter meliputi sembilan pilar, yaitu:
1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya;
2. Tanggung jawab, Disiplin dan Mandiri;
3. Jujur/amanah dan Arif;
4. Hormat dan Santun;
5. Dermawan, Suka menolong, dan Gotong-royong;
6. Percaya diri, Kreatif dan Pekerja keras;
7. Kepemimpinan dan adil;
8 Baik dan rendah hati;
9. Toleran, cinta damai dan kesatuan.
Jadi, menurut Ratna Megawangi, orang yang memiliki karakter baik adalah orang yang memiliki kesembilan pilar karakter tersebut. Karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture). Menurut para developmental psychologist, setiap manusia memiliki potensi bawaan yang akan termanisfestasi setelah dia dilahirkan, termasuk potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan. Dalam hal ini, Confusius – seorang filsuf terkenal Cina - menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi mencintai kebajikan, namun bila potensi ini tidak diikuti dengan pendidikan dan sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi (Megawangi, 2003). Oleh karena itu, sosialisasi dan pendidikan anak yang berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan - baik di keluarga, sekolah, maupun lingkungan yang lebih luas - sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak.
Jika sosialisasi dan pendidikan (faktor nurture) sangat penting dalam pendidikan karakter, maka sejak kapan sebaiknya hal itu dilakukan? Menurut Thomas Lichona (Megawangi, 2003), pendidikan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Erik Erikson – yang terkenal dengan teori Psychososial Development – juga menyatakan hal yang sama. Dalam hal ini Erikson menyebutkan bahwa anak adalah gambaran awal manusia menjadi manusia, yaitu masa di mana kebajikan berkembang secara perlahan tapi pasti (dalam Hurlock, 1981). Dengan kata lain, bila dasar-dasar kebajikan gagal ditanamkan pada anak di usia dini, maka dia akan menjadi orang dewasa yang tidak memiliki nilai-nilai kebajikan. Selanjutnya, White (dalam Hurlock, 1981)menyatakan bahwa usia dua tahun pertama dalam kehidupan adalah masa kritis bagi pembentukan pola penyesuaian personal dan sosial.
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang pembentukannya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah - nature) dan lingkungan (sosialisasi atau pendikan – nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia sebelum dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini.
2. Pembinaan Karakter Anak yang Dilakukan oleh Keluarga
Pada dasarnya, tugas dasar perkembangan seorang anak adalah mengembangkan pemahaman yang benar tentang bagaimana dunia ini bekerja. Dengan kata lain, tugas utama seorang anak dalam perkembangannya adalah mempelajari ”aturan main” segala aspek yang ada di dunia ini. Sebagai contoh, anak harus belajar memahami bahwa setiap benda memiliki hukum tertentu (hukum-hukum fisika), seperti : benda akan jatuh ke bawah, bukan ke atas atau ke samping (hukum gravitasi bumi); benda tidak hilang melainkan pindah tempat (hukum ketetapan obyek), dll. Selain itu, anak juga harus belajar memahami aturan main dalam hubungan kemasyarakatan, sehingga ada hukum dan sanksi yang mengatur perilaku anggota masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Garbarino & Brofenbrenner (dalam Vasta, 1992), jika suatu bangsa ingin bertahan hidup, maka bangsa tersebut harus memiliki aturan-aturan yang menetapkan apa yang salah dan apa yang benar, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang adil dan apa yang tidak adil, apa yang patut dan tidak patut. Oleh karena itu, perlu ada etika dalam bicara, aturan dalam berlalu lintas, dan aturan-aturan sosial lainnya. Jika tidak, hidup ini akan ”semrawut” karena setiap orang boleh berlaku sesuai keinginannya masing-masing tanpa harus mempedulikan orang lain. Akhirnya antar sesama menjadi saling menjegal, saling menyakiti, bahkan saling membunuh, sehingga hancurlah bangsa itu. Memahami ”aturan main” dalam kehidupan dunia dan menginternalisasikan dalam dirinya sehingga mampu mengaplikasikan ”aturan main” tersebut dalam kehidupan sehari-hari dengan sebaik-baiknya merupakan tugas setiap anak dalam perkembangannya. Kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, antri, tidak menyeberang jalan dan parkir sembarangan, tidak merugikan atau menyakiti orang lain, mandiri (tidak memerlukan supervisi) serta perilaku-perilaku lain - yang menunjukkan adanya pemahaman yang baik terhadap aturan sosial - merupakan hasil dari perkembangan kualitas moral dan mental seseorang yang disebut karakter.
Tentu saja kebiasaan baik atau buruk pada diri seseorang - yang mengindikasikan kualitas karakter ini - tidak terjadi dengan sendirinya. Telah disebutkan bahwa selain faktor nature, faktor nurture juga berpengaruh. Dengan kata lain, proses sosialisasi atau pendidikan yang dilakukan oleh keluarga, sekolah, lingkungan yang lebih luas memegang peranan penting, bahkan mungkin lebih penting, dalam pembentukan karakter seseorang. Hal ini hamper sama pendapat ‘The Character Education Manifesto “ dalam buku “Building Charcter in Schools” bab 5. “We strongly affirm parents as the primary moral educators of their children”, Kami menegaskan bahwa orang tua merupakan pengajar moral utama untuk anak-anaknya.
Menurut Megawangi (2003), anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang segara optimal. Mengingat lingkungan anak bukan saja lingkungan keluarga yang sifatnya mikro, maka semua pihak - keluarga, sekolah, media massa, komunitas bisnis, dan sebagainya - turut andil dalam perkembangan karakter anak. Dengan kata lain, mengembangkan generasi penerus bangsa yang berkarakter baik adalah tanggung jawab semua pihak. Tentu saja hal ini tidak mudah, oleh karena itu diperlukan kesadaran dari semua pihak bahwa pendidikan karakter merupakan ”PR” yang sangat penting untuk dilakukan segera. Terlebih melihat kondisi karakter bangsa saat ini yang memprihatinkan serta kenyataan bahwa manusia tidak secara alamiah (spontan) tumbuh menjadi manusia yang berkarakter baik, sebab menurut Aristoteles (dalam Megawangi, 2003), hal itu merupakan hasil dari usaha seumur hidup individu dan masyarakat.
3. Keluarga sebagai Wahana Pertama dan Utama Pendidikan Karakter Anak
Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika keluarga-keluarga yang merupakan fondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah masyarakat - seperti kejahatan seksual dan kekerasan yang merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat - merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga.
Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut resolusi Majelis Umum PBB (dalam Megawangi, 2003), fungsi utama keluarga adalah ”sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga, sejahtera”. Menurut pakar pendidikan, William Bennett (dalam Megawangi, 2003), keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan. Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya. Senada dengan yang diungkapkan Karen E Bohlin dalam buku “The Odyssey of Adolescence”: Jangan lindungi anak-anakmu ari kegagalan, jangan menganggap rendah nilai yang mereka dapat, beberapa pelajaran terbaik yang dapat dipetik dalam hidup mengunjungi kantor polisi.
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.
4. Aspek-aspek Penting dalam Pendidikan Karakter Anak
Untuk membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Menurut Megawangi (2003), ada tiga kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental.
Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya) merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepada orang lain (trust) pada anak. Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya. Menurut Erikson, dasar kepercayaan yang ditumbuhkan melalui hubungan ibu-anak pada tahun-tahun pertama kehidupan anak akan memberi bekal bagi kesuksesan anak dalam kehidupan sosialnya ketika ia dewasa. Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak.
Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan karakter anak karena lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi bayi. Pengasuh yang berganti-ganti juga akan berpengaruh negatif pada perkembangan emosi anak. Menurut Bowlby (dalam Megawangi, 2003), normal bagi seorang bayi untuk mencari kontak dengan hanya satu orang (biasanya ibu) pada tahap-tahap awal masa bayi. Kekacauan emosi anak yang terjadi karena tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah kesulitan makan pada anak. Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan anak yang optimal.
Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Tentu saja hal ini membutuhkan perhatian yang besar dari orang tua dan reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya. Menurut pakar pendidikan anak, seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus, menggendong, dan berbicara kepada anaknya) terhadap anaknya yang berusia usia di bawah enam bulan akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang kreatif.
5. Pola Asuh Menentukan Keberhasilan Pendidikan Karakter Anak dalam Keluarga
Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter) pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orangtua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam rangka pendidikan karakter anak.
Secara umum, Baumrind mengkategorikan pola asuh menjadi tiga jenis, yaitu : (1) Pola asuh Authoritarian, (2) Pola asuh Demokrative, (3) Pola asuh permissive. Tiga jenis pola asuh Baumrind ini hampir sama dengan jenis pola asuh menurut Hurlock juga Hardy & Heyes yaitu: (1) Pola asuh otoriter, (2) Pola asuh demokratis, dan (3) Pola asuh permisif. Pola asuh otoriter mempunyai ciri orangtua membuat semua keputusan, anak harus tunduk, patuh, dan tidak boleh bertanya. Pola asuh demokratis mempunyai ciri orangtua mendorong anak untuk membicarakan apa yang ia inginkan. Pola asuh permisif mempunyai ciri orangtua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat. Kita dapat mengetahui pola asuh apa yang diterapkan oleh orang tua dari ciri-ciri masing-masing pola asuh tersebut, yaitu sebagai berikut :
Pola asuh otoriter mempunyai ciri :
1. Kekuasaan orangtua dominan
2. Anak tidak diakui sebagai pribadi.
3. Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat.
4. Orangtua menghukum anak jika anak tidak patuh.
Pola asuh demokratis mempunyai ciri :
1. Ada kerjasama antara orangtua – anak.
2. Anak diakui sebagai pribadi.
3. Ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua.
4. Ada kontrol dari orangtua yang tidak kaku.
Pola asuh permisif mempunyai ciri :
1. Dominasi pada anak.
2. Sikap longgar atau kebebasan dari orangtua.
3. Tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua.
4. Kontrol dan perhatian orangtua sangat kurang.
Melalui pola asuh yang dilakukan oleh orang tua, anak belajar tentang banyak hal, termasuk karakter. Tentu saja pola asuh otoriter (yang cenderung menuntut anak untuk patuh terhadap segala keputusan orang tua) dan pola asuh permisif (yang cenderung memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat) sangat berbeda dampaknya dengan pola asuh demokratis (yang cenderung mendorong anak untuk terbuka, namun bertanggung jawab dan mandiri) terhadap hasil pendidikan karakter anak. Artinya, jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak oleh keluarga.
Pola asuh otoriter cenderung membatasi perilaku kasih sayang, sentuhan, dan kelekatan emosi orangtua - anak sehingga antara orang tua dan anak seakan memiliki dinding pembatas yang memisahkan “si otoriter” (orang tua) dengan “si patuh” (anak). Studi yang dilakukan oleh Fagan (dalam Badingah, 1993) menunjukan bahwa ada keterkaitan antara faktor keluarga dan tingkat kenakalan keluarga, di mana keluarga yang broken home, kurangnya kebersamaan dan interaksi antar keluarga, dan orang tua yang otoriter cenderung menghasilkan remaja yang bermasalah. Pada akhirnya, hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas karakter anak.
Pola asuh permisif yang cenderung memberi kebebesan terhadap anak untuk berbuat apa saja sangat tidak kondusif bagi pembentukan karakter anak. Bagaimana pun anak tetap memerlukan arahan dari orang tua untuk mengenal mana yang baik mana yang salah. Dengan memberi kebebasan yang berlebihan, apalagi terkesan membiarkan, akan membuat anak bingung dan berpotensi salah arah.
Pola asuh demokratis tampaknya lebih kondusif dalam pendidikan karakter anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Baumrind yang menunjukkan bahwa orangtua yang demokratis lebih mendukung perkembangan anak terutama dalam kemandirian dan tanggungjawab. Sementara, orangtua yang otoriter merugikan, karena anak tidak mandiri, kurang tanggungjawab serta agresif, sedangkan orangtua yang permisif mengakibatkan anak kurang mampu dalam menyesuaikan diri di luar rumah. Menurut Arkoff (dalam Badingah, 1993), anak yang dididik dengan cara demokratis umumnya cenderung mengungkapkan agresivitasnya dalam tindakan-tindakan yang konstruktif atau dalam bentuk kebencian yang sifatnya sementara saja. Di sisi lain, anak yang dididik secara otoriter atau ditolak memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan agresivitasnya dalam bentuk tindakan-tindakan merugikan. Sementara itu, anak yang dididik secara permisif cenderung mengembangkan tingkah laku agresif secara terbuka atau terang-terangan.
Menurut Middlebrook (dalam Badingah, 1993), hukuman fisik yang umum diterapkan dalam pola asuh otoriter kurang efektif untuk membentuk tingkah laku anak karena :
(a) menyebabkan marah dan frustasi (dan ini tidak cocok untuk belajar);
(b) adanya perasaan-perasaan menyakitkan yang mendorong tingkah laku agresif;
(c) akibat-akibat hukuman itu dapat meluas sasarannya, misalnya anak menahan diri untuk memukul atau merusak pada waktu ada orangtua tetapi segera melakukan setelah orangtua tidak ada;
(d) tingkah laku agresif orangtua menjadi model bagi anak.
Hasil penelitian Rohner (dalam Megawangi, 2003) menunjukkan bahwa pengalaman masa kecil seseorang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadiannya (karakter atau kecerdasan emosinya). Penelitian tersebut - yang menggunakan teori PAR (Parental Acceptance-Rejection Theory)- menunjukkan bahwa pola asuh orang tua, baik yang menerima (acceptance) atau yang menolak (rejection) anaknya, akan mempengaruhi perkembangan emosi, perilaku, sosial-kognitif, dan kesehatan fungsi psikologisnya ketika dewasa kelak.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan anak yang diterima adalah anak yang diberikan kasih sayang, baik secara verbal (diberikan kata-kata cinta dan kasih sayang, kata-kata yang membesarkan hati, dorongan, dan pujian), maupun secara fisik (diberi ciuman, elusan di kepala, pelukan, dan kontak mata yang mesra). Sementara, anak yang ditolak adalah anak yang mendapat perilaku agresif orang tua, baik secara verbal (kata-kata kasar, sindiran negatif, bentakan, dan kata-kata lainnya yang dapat mengecilkan hati), ataupun secara fisik (memukul, mencubit, atau menampar). Sifat penolakan orang tua dapat juga bersifat indifeerence atau neglect, yaitu sifat yang tidak mepedulikan kebutuhan anak baik fisik maupun batin, atau bersifat undifferentiated rejection, yaitu sifat penolakan yang tidak terlalu tegas terlihat, tetapi anak merasa tidak dicintai dan diterima oleh orang tua, walaupun orang tua tidak merasa demikian.
Hasil penelitian Rohner menunjukkan bahwa pola asuh orang tua yang menerima membuat anak merasa disayang, dilindungi, dianggap berharga, dan diberi dukungan oleh orang tuanya. Pola asuh ini sangat kondusif mendukung pembentukan kepribadian yang pro-sosial, percaya diri, dan mandiri namun sangat peduli dengan lingkungannya. Sementara itu, pola asuh yang menolak dapat membuat anak merasa tidak diterima, tidak disayang, dikecilkan, bahkan dibenci oleh orang tuanya. Anak-anak yang mengalami penolakan dari orang tuanya akan menjadi pribadi yang tidak mandiri, atau kelihatan mandiri tetapi tidak mempedulikan orang lain. Selain itu anak ini akan cepat tersinggung, dan berpandangan negatif terhadap orang lain dan terhadap kehidupannya, bersikap sangat agresif kepada orang lain, atau merasa minder dan tidak merasa dirinya berharga.
Dari paparan di atas jelas bahwa jenis pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya sangat menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak. Kesalahan dalam pengasuhan anak akan berakibat pada kegagalan dalam pembentukan karakter yang baik. Menurut Megawangi (2003) ada beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak sehingga berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu :
1. Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik secara verbal maupun fisik.
2. Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya.
3. Bersikap kasar secara verbal, misainya menyindir, mengecilkan anak, dan berkata-kata kasar.
4. Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit, dan memberikan hukuman badan lainnya.
5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini.
6. Tidak menanamkan "good character' kepada anak.
Dampak yang ditimbulkan dari salah asuh seperti di atas, menurut Megawangi akan menghasilkan anak-anak yang mempunyai kepribadian bermasalah atau mempunyai kecerdasan emosi rendah.
1. Anak menjadi acuh tak acuh, tidak butuh orang lain, dan tidak dapat menerima persahabatan. Karena sejak kecil mengalami kemarahan, rasa tidak percaya, dan gangguan emosi negatif lainnya. Ketika dewasa ia akan menolak dukungan, simpati, cinta dan respons positif lainnya dari orang di sekitarnya. la kelihatan sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak disenangi oleh orang lain.
2. Secara emosiol tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan tidak mampu memberikan cinta kepada orang lain.
3. Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secara verbal maupun fisik.
4. Menjadi minder, merasa diri tidak berharga dan berguna.
5. Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya.
6. Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan terhadap stress, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang tidak dapat dipreaiksi oleh orang lain.
7. Keseimbangan antara perkembangan emosional dan intelektual. Dampak negatif lainnya dapat berupa mogok belajar, dan bahkan dapat memicu kenakalan remaja, tawuran, dan lainnya.
8. Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak menjadikan orang tuannya sebagai ”role model” Anak akan lebih percaya kepada "peer group"nya sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif.
6. Hubungan Antara Orang Tua dan Sekolah
a. Kerjasama
Untuk membentuk karakter peserta didik perlu adanya kerjasama, komunikasi antar orang tua dan sekolah juga perlu adanya interaksi antar orang tua di sekolah itu. Beberapa kegiatan untuk ke arah itu diantaranya:
- Pertemuan antara sekolah dan orang tua siswa.
- Masyarakat belajar (learning community) antara orang tua dan anaknya di sekolah.
- Orang tua diundang sebagai tenaga ahli (modeling) menceritakan profesinya dan kebiasaan-kebiasaan baiknya untuk memperoleh profesi yang digeluti.
b. Komitmen
dalam rangka penegakan moral di sekolah perlu adanya perjanjian antara murid, orang tua dan sekolah. Murid bertanggung jawab unuk memenuhi seluruh pekerjaan sekolah yang dibebankan secara individu atau kelompok, kehadiran yang teratur, menaati tata tertib sekolah dan saling menghargai antar murid. Orang tua menciptakan suasana kondusif untuk belajar di rumah dan menjadi teladan sebagai model belajar. Sekolah berkewajiban memberikan pelayanan terbaik di bidang akademik dan non akademik, pendidikan karakter, rasa aman, dan menginformasikan kemajuan/hambatan akademik/moral siswa pada orang tua.
c. Diskusi Moral antara Orang Tua dan Anak
baik orang tua maupun psikolog mengakui kedekatan hubungan antara orang tua dan anaknya semakin sulit seiring bertambah dan berkembangnya usia dan mental mereka. Akan tetapi saling pengertian dan komunikasi yang terus menerus akan tetap terjaga pada saat kedua belah pihak tetap menjaga rasa percaya, dan rasa percaya hal terpenting untuk menjadi orang tua yang baik. Topik-topik moral dapat didiskusikan di rumah dengan tetap berpegang pada rasa saling percaya dan orang tua menjadi teladannya.
7. Penerapan Pendidikan Karakter dalam Mata Pelajaran Bahasa Inggris
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Mata Pelajaran Bahasa Inggris sangatlah memungkinkan para guru sebagai ujung tombak terdepan di dunia pendidikan melakukan inovasi pembelajaran sesuai dengan lingkungan sekolah dan tuntutan masyarakat sekitarnya. Strategi implementasi pendidikan karakter dalam mata pelajaran bahasa Inggris di sekolah dapat dilakukan melalui pola mengintegrasikannya ke dalam setiap pokok bahasan/tema. Dalam konteks ini pendidikan karakter merupakan kristalisasi dan akomodasi dari berbagai pengalaman hidup masyarakat yang seoptimal mungkin dapat diintegrasikan ke dalam materi pembelajaran. Jadi implementaasi pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran berarti mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam setiap pokok bahasan/tema mata pelajaran. Pembelajaran karakter dapat dilaksanakan secara individual maupun kelompok dengan berlandaskan kebutuhan belajar setiap anak. Pembelajaran karakter dimulai dengan memperkaya setiap siswa tentang kesadaran dirinya (self awareness), membentuk citra diri yang positif dan memotivasi siswa untuk bertanggunbg jawab terhadap dirinya dan sesama. Langkah selanjutnya adalah membimbing siswa untuk dapat mengatur diri dan berinteraksi secara sehat dengan orang lain. Budi pekerti yang baik dibutuhkan untuk menghormati diri sendiri dan orang lain. Pendidikan karakter harus harus menggunakan cara yang terarah dan terpadu untuk para guru sehingga mampu memberikan pengetahuan dan keterampilan pada siswanya. Pendidikan karakter terkait dengan semua aspek pengalaman yang terdapat di sekolah. Program pendidikan karakter ini digunakan oleh guru dan siswa untuk mengevaluasi kinerja (performance) mereka baik secara individual dan kelompok serta untuk memberi pemahaman tentang perilaku sosial yang akan menunjang dalam kehidupan di masyarakat.
Antara mata pelajaran Bahasa Inggris, karakter dan kehidupan nyata terdapat hubungan yang erat hal ini dapat terlihat dari gambar berikut.
Dari gambar diatas dapat diterangkan sebagai berikut :
Identifikasi pendidikan karakter yang diperlukan untuk menghadapai kehidupan nyata di masyarakat. Selanjutnya diidentifikasi pokok bahasan/tema yang selanjutnya dikemas dalam bentuk mata pelajaran.
Pemberian bekal karakter bagi peserta didik pada gambar diatas ditunjukkan dengan anaka panah bergaris tegas, yaitu apa yang dipelajari pada mata pelajaran bahasa Inggris diharapkan dapat membentuk karakter yang nantinya diperlukan pada saat yang bersangkutan memasuki kehidupan nyata di masyarakat. Model pembelajaran terpadu (integrated learning), pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) atau CTL dan model pendidikan realistic (realistic education) yang kini sedang berkembang juga merupakan upaya mengatur antara pendidikan sesuai kebutuhan nyata peserta didik agar hasilnya dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.berikut ini adalah beberapa keterampilan Fungsional untuk Pendidikan Karakter yaitu:
• Salam dan Respon
• Permintaan Maaf dan respon
• Permisi dan respon
• Minta tolong dan respon
• Mengajak dan respon
• Menawarkan bantuan dan respon
• Permintaan pengulangan
1. Salam dan Respon
• Good morning
• How are You?
Respon
• : Good morning
• : Fine, thanks
2. Permintaan Maaf dan Respon
A: I’m sorry for coming late, I couldn’t sleep last night
B: Not at all, what happened?
A: Preparing presentation now
3. Permisi dan Respon
X: Excuse me, my family is waiting for me.
X: Would You excuse me, I’ll go to kitchen right now.
Respons
Y: Please,
Y: I apreciate it.
4. Minta tolong dan Respon
• Can You help me?
• Would You like to help me?
• Could You get that magazine for me?
• Would You mind plucking young coconut?
Respon
• Sure, I can
• I’m sorry, I’m very busy
• All right
• Never mind
5. Mengajak dan Respon
• What about helping our parents on vacation?
• Let’s work harder to get better
Respon
• That is a good idea
• I don’t disagree with You
• Why not, let’s do right now
• How about going to library?
6. Menawarkan Bantuan dan Respon
• What can I do for You?
• Can I help You?
• Do You need any help?
Respon
• Thank You, I appreciate
• Thanks, I can do by myself
• Thanks, hopefully next time
7. Permintaan Pengulangan
Pardon please.
Pardon me please.
I beg your pardon.
Penutup
Karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang pembentukannya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah - nature) dan lingkungan (sosialisasi atau pendikan – nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia sebelum dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini.
Meskipun semua pihak bertanggung jawab atas pendidikan karakter calon generasi penerus bangsa (anak-anak), namun keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Untuk membentuk karakter anak keluarga harus memenuhi tiga syarat dasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental. Selain itu, jenis pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya juga menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak di rumah. Kesalahan dalam pengasuhan anak di keluarga akan berakibat pada kegagalan dalam pembentukan karakter yang baik.
Kegagalan keluarga dalam melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, akan mempersulit institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) dalam upaya memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak-anak mereka dalam keluarga.
Dalam rangka pembentukan karakter peserta didik perlu adanya kerjasama, komunikasi, komitmen antar orang tua dan sekolah juga perlu adanya interaksi antar orang tua di sekolah itu untuk memecahkan persoalan di antara anak mereka. sedangkan topik-topik moral dapat pula didiskusikan di rumah dengan tetap berpegang pada rasa saling percaya dan orang tua menjadi teladannya
pendidikan karakter pada mata pelajaran bahasa Inggris digunakan oleh guru dan siswa untuk mengevaluasi kinerja (performance) mereka baik secara individual dan kelompok serta untuk memberi pemahaman tentang perilaku sosial yang akan menunjang dalam kehidupan di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Badingah, S. (1993). Agresivitas Remaja Kaitannya dengan Pola Asuh, Tingkah Laku Agresif Orang Tua dan Kegemaran Menonoton Film Keras. Program Studi Psikologi – Pascasarjana, UI. Depok.
Coon, Dennis. (1983). Introduction to Psychology : Exploration and Aplication. West Publishing Co.
http://encyclopedia.thefreedictionary.com. Diakses tanggal 26 April 2004.
Hurlock, E.B. 1981. Child Development. Sixth Edition. McGraw Hill Kogakusha International Student.
Megawangi, Ratna. (2003). Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani. IPPK Indonesia Heritage Foundation.
Vasta, Ross, at all. (1992). Child Psychology : The Modern Science. John Wiley & Sons Inc.
Jarwo Nurtokhid *
Saat di layar televisi kita melihat berbagai tindak kekerasan, pelecehan seksual dan tindak kriminal lainnya yang terjadi baik dalam keluarga maupun di lingkungan lain, maka muncul pertanyaan di benak kita : ”Apa yang terjadi dengan bangsa kita? Pertanyaan yang sama juga muncul ketika kita mengetahui berbagai tindak KKN di lingkungan pemerintahan, BUMN, atau perusahaan swasta yang merugikan keuangan negara dalam hitungan yang tidak terbayangkan. Bahkan ketika gaji kita dipotong tanpa alasan yang jelas atau kepangkatan kita tertunda hanya karena kurang komisi. Apa yang didengar, dilihat dan dialami oleh kita tersebut mengacu kepada satu hal, yaitu karakter.
Permasalahan di atas terjadi disebabkan lemahnya pendidikan karakter di keluarga, di lingkungan dan di sekolah. Ketiga unsur tadi sangat mempengaruhi perkembangan karakter setiap individu. Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat sangat berperan dalam pembentukan karakter anggotanya pada saat bersosialisasi dengan lingkungan. Demikian pula sekolah sebagai bagian yang sangat penting dalam pembentukan karakter peserta didik, sehingga harus ada sinergi antara orang tua dan sekolah.
Karakter dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya, pembinaan karakter anak yang dilakukan oleh keluarga, macam-macam pola asuh anak, aspek-aspek penting dalam pendidikan anak juga implementasi pendidikan karakter dalam pelajaran bahasa Inggris di SMP merupakan bahasan yang cukup menarik untuk dikaji.
1. Karakter dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangannya
Karakter didefinisikan secara berbeda-beda oleh berbagai pihak. Sebagian menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif terhadap kualitas moral dan mental, sementara yang lainnya menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif terhadap kualitas mental saja, sehingga upaya mengubah atau membentuk karakter hanya berkaitan dengan stimulasi terhadap intelektual seseorang (encyclopedia.thefreedictionary.com, 2004). Coon (1983) mendefinisikan karakter sebagai suatu penilaian subyektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh masyarakat. Sementara itu menurut Megawangi (2003), kualitas karakter meliputi sembilan pilar, yaitu:
1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya;
2. Tanggung jawab, Disiplin dan Mandiri;
3. Jujur/amanah dan Arif;
4. Hormat dan Santun;
5. Dermawan, Suka menolong, dan Gotong-royong;
6. Percaya diri, Kreatif dan Pekerja keras;
7. Kepemimpinan dan adil;
8 Baik dan rendah hati;
9. Toleran, cinta damai dan kesatuan.
Jadi, menurut Ratna Megawangi, orang yang memiliki karakter baik adalah orang yang memiliki kesembilan pilar karakter tersebut. Karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture). Menurut para developmental psychologist, setiap manusia memiliki potensi bawaan yang akan termanisfestasi setelah dia dilahirkan, termasuk potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan. Dalam hal ini, Confusius – seorang filsuf terkenal Cina - menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi mencintai kebajikan, namun bila potensi ini tidak diikuti dengan pendidikan dan sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi (Megawangi, 2003). Oleh karena itu, sosialisasi dan pendidikan anak yang berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan - baik di keluarga, sekolah, maupun lingkungan yang lebih luas - sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak.
Jika sosialisasi dan pendidikan (faktor nurture) sangat penting dalam pendidikan karakter, maka sejak kapan sebaiknya hal itu dilakukan? Menurut Thomas Lichona (Megawangi, 2003), pendidikan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Erik Erikson – yang terkenal dengan teori Psychososial Development – juga menyatakan hal yang sama. Dalam hal ini Erikson menyebutkan bahwa anak adalah gambaran awal manusia menjadi manusia, yaitu masa di mana kebajikan berkembang secara perlahan tapi pasti (dalam Hurlock, 1981). Dengan kata lain, bila dasar-dasar kebajikan gagal ditanamkan pada anak di usia dini, maka dia akan menjadi orang dewasa yang tidak memiliki nilai-nilai kebajikan. Selanjutnya, White (dalam Hurlock, 1981)menyatakan bahwa usia dua tahun pertama dalam kehidupan adalah masa kritis bagi pembentukan pola penyesuaian personal dan sosial.
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang pembentukannya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah - nature) dan lingkungan (sosialisasi atau pendikan – nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia sebelum dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini.
2. Pembinaan Karakter Anak yang Dilakukan oleh Keluarga
Pada dasarnya, tugas dasar perkembangan seorang anak adalah mengembangkan pemahaman yang benar tentang bagaimana dunia ini bekerja. Dengan kata lain, tugas utama seorang anak dalam perkembangannya adalah mempelajari ”aturan main” segala aspek yang ada di dunia ini. Sebagai contoh, anak harus belajar memahami bahwa setiap benda memiliki hukum tertentu (hukum-hukum fisika), seperti : benda akan jatuh ke bawah, bukan ke atas atau ke samping (hukum gravitasi bumi); benda tidak hilang melainkan pindah tempat (hukum ketetapan obyek), dll. Selain itu, anak juga harus belajar memahami aturan main dalam hubungan kemasyarakatan, sehingga ada hukum dan sanksi yang mengatur perilaku anggota masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Garbarino & Brofenbrenner (dalam Vasta, 1992), jika suatu bangsa ingin bertahan hidup, maka bangsa tersebut harus memiliki aturan-aturan yang menetapkan apa yang salah dan apa yang benar, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang adil dan apa yang tidak adil, apa yang patut dan tidak patut. Oleh karena itu, perlu ada etika dalam bicara, aturan dalam berlalu lintas, dan aturan-aturan sosial lainnya. Jika tidak, hidup ini akan ”semrawut” karena setiap orang boleh berlaku sesuai keinginannya masing-masing tanpa harus mempedulikan orang lain. Akhirnya antar sesama menjadi saling menjegal, saling menyakiti, bahkan saling membunuh, sehingga hancurlah bangsa itu. Memahami ”aturan main” dalam kehidupan dunia dan menginternalisasikan dalam dirinya sehingga mampu mengaplikasikan ”aturan main” tersebut dalam kehidupan sehari-hari dengan sebaik-baiknya merupakan tugas setiap anak dalam perkembangannya. Kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, antri, tidak menyeberang jalan dan parkir sembarangan, tidak merugikan atau menyakiti orang lain, mandiri (tidak memerlukan supervisi) serta perilaku-perilaku lain - yang menunjukkan adanya pemahaman yang baik terhadap aturan sosial - merupakan hasil dari perkembangan kualitas moral dan mental seseorang yang disebut karakter.
Tentu saja kebiasaan baik atau buruk pada diri seseorang - yang mengindikasikan kualitas karakter ini - tidak terjadi dengan sendirinya. Telah disebutkan bahwa selain faktor nature, faktor nurture juga berpengaruh. Dengan kata lain, proses sosialisasi atau pendidikan yang dilakukan oleh keluarga, sekolah, lingkungan yang lebih luas memegang peranan penting, bahkan mungkin lebih penting, dalam pembentukan karakter seseorang. Hal ini hamper sama pendapat ‘The Character Education Manifesto “ dalam buku “Building Charcter in Schools” bab 5. “We strongly affirm parents as the primary moral educators of their children”, Kami menegaskan bahwa orang tua merupakan pengajar moral utama untuk anak-anaknya.
Menurut Megawangi (2003), anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang segara optimal. Mengingat lingkungan anak bukan saja lingkungan keluarga yang sifatnya mikro, maka semua pihak - keluarga, sekolah, media massa, komunitas bisnis, dan sebagainya - turut andil dalam perkembangan karakter anak. Dengan kata lain, mengembangkan generasi penerus bangsa yang berkarakter baik adalah tanggung jawab semua pihak. Tentu saja hal ini tidak mudah, oleh karena itu diperlukan kesadaran dari semua pihak bahwa pendidikan karakter merupakan ”PR” yang sangat penting untuk dilakukan segera. Terlebih melihat kondisi karakter bangsa saat ini yang memprihatinkan serta kenyataan bahwa manusia tidak secara alamiah (spontan) tumbuh menjadi manusia yang berkarakter baik, sebab menurut Aristoteles (dalam Megawangi, 2003), hal itu merupakan hasil dari usaha seumur hidup individu dan masyarakat.
3. Keluarga sebagai Wahana Pertama dan Utama Pendidikan Karakter Anak
Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika keluarga-keluarga yang merupakan fondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah masyarakat - seperti kejahatan seksual dan kekerasan yang merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat - merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga.
Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut resolusi Majelis Umum PBB (dalam Megawangi, 2003), fungsi utama keluarga adalah ”sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga, sejahtera”. Menurut pakar pendidikan, William Bennett (dalam Megawangi, 2003), keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan. Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya. Senada dengan yang diungkapkan Karen E Bohlin dalam buku “The Odyssey of Adolescence”: Jangan lindungi anak-anakmu ari kegagalan, jangan menganggap rendah nilai yang mereka dapat, beberapa pelajaran terbaik yang dapat dipetik dalam hidup mengunjungi kantor polisi.
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.
4. Aspek-aspek Penting dalam Pendidikan Karakter Anak
Untuk membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Menurut Megawangi (2003), ada tiga kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental.
Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya) merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepada orang lain (trust) pada anak. Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya. Menurut Erikson, dasar kepercayaan yang ditumbuhkan melalui hubungan ibu-anak pada tahun-tahun pertama kehidupan anak akan memberi bekal bagi kesuksesan anak dalam kehidupan sosialnya ketika ia dewasa. Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak.
Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan karakter anak karena lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi bayi. Pengasuh yang berganti-ganti juga akan berpengaruh negatif pada perkembangan emosi anak. Menurut Bowlby (dalam Megawangi, 2003), normal bagi seorang bayi untuk mencari kontak dengan hanya satu orang (biasanya ibu) pada tahap-tahap awal masa bayi. Kekacauan emosi anak yang terjadi karena tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah kesulitan makan pada anak. Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan anak yang optimal.
Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Tentu saja hal ini membutuhkan perhatian yang besar dari orang tua dan reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya. Menurut pakar pendidikan anak, seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus, menggendong, dan berbicara kepada anaknya) terhadap anaknya yang berusia usia di bawah enam bulan akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang kreatif.
5. Pola Asuh Menentukan Keberhasilan Pendidikan Karakter Anak dalam Keluarga
Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter) pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orangtua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam rangka pendidikan karakter anak.
Secara umum, Baumrind mengkategorikan pola asuh menjadi tiga jenis, yaitu : (1) Pola asuh Authoritarian, (2) Pola asuh Demokrative, (3) Pola asuh permissive. Tiga jenis pola asuh Baumrind ini hampir sama dengan jenis pola asuh menurut Hurlock juga Hardy & Heyes yaitu: (1) Pola asuh otoriter, (2) Pola asuh demokratis, dan (3) Pola asuh permisif. Pola asuh otoriter mempunyai ciri orangtua membuat semua keputusan, anak harus tunduk, patuh, dan tidak boleh bertanya. Pola asuh demokratis mempunyai ciri orangtua mendorong anak untuk membicarakan apa yang ia inginkan. Pola asuh permisif mempunyai ciri orangtua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat. Kita dapat mengetahui pola asuh apa yang diterapkan oleh orang tua dari ciri-ciri masing-masing pola asuh tersebut, yaitu sebagai berikut :
Pola asuh otoriter mempunyai ciri :
1. Kekuasaan orangtua dominan
2. Anak tidak diakui sebagai pribadi.
3. Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat.
4. Orangtua menghukum anak jika anak tidak patuh.
Pola asuh demokratis mempunyai ciri :
1. Ada kerjasama antara orangtua – anak.
2. Anak diakui sebagai pribadi.
3. Ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua.
4. Ada kontrol dari orangtua yang tidak kaku.
Pola asuh permisif mempunyai ciri :
1. Dominasi pada anak.
2. Sikap longgar atau kebebasan dari orangtua.
3. Tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua.
4. Kontrol dan perhatian orangtua sangat kurang.
Melalui pola asuh yang dilakukan oleh orang tua, anak belajar tentang banyak hal, termasuk karakter. Tentu saja pola asuh otoriter (yang cenderung menuntut anak untuk patuh terhadap segala keputusan orang tua) dan pola asuh permisif (yang cenderung memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat) sangat berbeda dampaknya dengan pola asuh demokratis (yang cenderung mendorong anak untuk terbuka, namun bertanggung jawab dan mandiri) terhadap hasil pendidikan karakter anak. Artinya, jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak oleh keluarga.
Pola asuh otoriter cenderung membatasi perilaku kasih sayang, sentuhan, dan kelekatan emosi orangtua - anak sehingga antara orang tua dan anak seakan memiliki dinding pembatas yang memisahkan “si otoriter” (orang tua) dengan “si patuh” (anak). Studi yang dilakukan oleh Fagan (dalam Badingah, 1993) menunjukan bahwa ada keterkaitan antara faktor keluarga dan tingkat kenakalan keluarga, di mana keluarga yang broken home, kurangnya kebersamaan dan interaksi antar keluarga, dan orang tua yang otoriter cenderung menghasilkan remaja yang bermasalah. Pada akhirnya, hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas karakter anak.
Pola asuh permisif yang cenderung memberi kebebesan terhadap anak untuk berbuat apa saja sangat tidak kondusif bagi pembentukan karakter anak. Bagaimana pun anak tetap memerlukan arahan dari orang tua untuk mengenal mana yang baik mana yang salah. Dengan memberi kebebasan yang berlebihan, apalagi terkesan membiarkan, akan membuat anak bingung dan berpotensi salah arah.
Pola asuh demokratis tampaknya lebih kondusif dalam pendidikan karakter anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Baumrind yang menunjukkan bahwa orangtua yang demokratis lebih mendukung perkembangan anak terutama dalam kemandirian dan tanggungjawab. Sementara, orangtua yang otoriter merugikan, karena anak tidak mandiri, kurang tanggungjawab serta agresif, sedangkan orangtua yang permisif mengakibatkan anak kurang mampu dalam menyesuaikan diri di luar rumah. Menurut Arkoff (dalam Badingah, 1993), anak yang dididik dengan cara demokratis umumnya cenderung mengungkapkan agresivitasnya dalam tindakan-tindakan yang konstruktif atau dalam bentuk kebencian yang sifatnya sementara saja. Di sisi lain, anak yang dididik secara otoriter atau ditolak memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan agresivitasnya dalam bentuk tindakan-tindakan merugikan. Sementara itu, anak yang dididik secara permisif cenderung mengembangkan tingkah laku agresif secara terbuka atau terang-terangan.
Menurut Middlebrook (dalam Badingah, 1993), hukuman fisik yang umum diterapkan dalam pola asuh otoriter kurang efektif untuk membentuk tingkah laku anak karena :
(a) menyebabkan marah dan frustasi (dan ini tidak cocok untuk belajar);
(b) adanya perasaan-perasaan menyakitkan yang mendorong tingkah laku agresif;
(c) akibat-akibat hukuman itu dapat meluas sasarannya, misalnya anak menahan diri untuk memukul atau merusak pada waktu ada orangtua tetapi segera melakukan setelah orangtua tidak ada;
(d) tingkah laku agresif orangtua menjadi model bagi anak.
Hasil penelitian Rohner (dalam Megawangi, 2003) menunjukkan bahwa pengalaman masa kecil seseorang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadiannya (karakter atau kecerdasan emosinya). Penelitian tersebut - yang menggunakan teori PAR (Parental Acceptance-Rejection Theory)- menunjukkan bahwa pola asuh orang tua, baik yang menerima (acceptance) atau yang menolak (rejection) anaknya, akan mempengaruhi perkembangan emosi, perilaku, sosial-kognitif, dan kesehatan fungsi psikologisnya ketika dewasa kelak.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan anak yang diterima adalah anak yang diberikan kasih sayang, baik secara verbal (diberikan kata-kata cinta dan kasih sayang, kata-kata yang membesarkan hati, dorongan, dan pujian), maupun secara fisik (diberi ciuman, elusan di kepala, pelukan, dan kontak mata yang mesra). Sementara, anak yang ditolak adalah anak yang mendapat perilaku agresif orang tua, baik secara verbal (kata-kata kasar, sindiran negatif, bentakan, dan kata-kata lainnya yang dapat mengecilkan hati), ataupun secara fisik (memukul, mencubit, atau menampar). Sifat penolakan orang tua dapat juga bersifat indifeerence atau neglect, yaitu sifat yang tidak mepedulikan kebutuhan anak baik fisik maupun batin, atau bersifat undifferentiated rejection, yaitu sifat penolakan yang tidak terlalu tegas terlihat, tetapi anak merasa tidak dicintai dan diterima oleh orang tua, walaupun orang tua tidak merasa demikian.
Hasil penelitian Rohner menunjukkan bahwa pola asuh orang tua yang menerima membuat anak merasa disayang, dilindungi, dianggap berharga, dan diberi dukungan oleh orang tuanya. Pola asuh ini sangat kondusif mendukung pembentukan kepribadian yang pro-sosial, percaya diri, dan mandiri namun sangat peduli dengan lingkungannya. Sementara itu, pola asuh yang menolak dapat membuat anak merasa tidak diterima, tidak disayang, dikecilkan, bahkan dibenci oleh orang tuanya. Anak-anak yang mengalami penolakan dari orang tuanya akan menjadi pribadi yang tidak mandiri, atau kelihatan mandiri tetapi tidak mempedulikan orang lain. Selain itu anak ini akan cepat tersinggung, dan berpandangan negatif terhadap orang lain dan terhadap kehidupannya, bersikap sangat agresif kepada orang lain, atau merasa minder dan tidak merasa dirinya berharga.
Dari paparan di atas jelas bahwa jenis pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya sangat menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak. Kesalahan dalam pengasuhan anak akan berakibat pada kegagalan dalam pembentukan karakter yang baik. Menurut Megawangi (2003) ada beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak sehingga berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu :
1. Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik secara verbal maupun fisik.
2. Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya.
3. Bersikap kasar secara verbal, misainya menyindir, mengecilkan anak, dan berkata-kata kasar.
4. Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit, dan memberikan hukuman badan lainnya.
5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini.
6. Tidak menanamkan "good character' kepada anak.
Dampak yang ditimbulkan dari salah asuh seperti di atas, menurut Megawangi akan menghasilkan anak-anak yang mempunyai kepribadian bermasalah atau mempunyai kecerdasan emosi rendah.
1. Anak menjadi acuh tak acuh, tidak butuh orang lain, dan tidak dapat menerima persahabatan. Karena sejak kecil mengalami kemarahan, rasa tidak percaya, dan gangguan emosi negatif lainnya. Ketika dewasa ia akan menolak dukungan, simpati, cinta dan respons positif lainnya dari orang di sekitarnya. la kelihatan sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak disenangi oleh orang lain.
2. Secara emosiol tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan tidak mampu memberikan cinta kepada orang lain.
3. Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secara verbal maupun fisik.
4. Menjadi minder, merasa diri tidak berharga dan berguna.
5. Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya.
6. Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan terhadap stress, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang tidak dapat dipreaiksi oleh orang lain.
7. Keseimbangan antara perkembangan emosional dan intelektual. Dampak negatif lainnya dapat berupa mogok belajar, dan bahkan dapat memicu kenakalan remaja, tawuran, dan lainnya.
8. Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak menjadikan orang tuannya sebagai ”role model” Anak akan lebih percaya kepada "peer group"nya sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif.
6. Hubungan Antara Orang Tua dan Sekolah
a. Kerjasama
Untuk membentuk karakter peserta didik perlu adanya kerjasama, komunikasi antar orang tua dan sekolah juga perlu adanya interaksi antar orang tua di sekolah itu. Beberapa kegiatan untuk ke arah itu diantaranya:
- Pertemuan antara sekolah dan orang tua siswa.
- Masyarakat belajar (learning community) antara orang tua dan anaknya di sekolah.
- Orang tua diundang sebagai tenaga ahli (modeling) menceritakan profesinya dan kebiasaan-kebiasaan baiknya untuk memperoleh profesi yang digeluti.
b. Komitmen
dalam rangka penegakan moral di sekolah perlu adanya perjanjian antara murid, orang tua dan sekolah. Murid bertanggung jawab unuk memenuhi seluruh pekerjaan sekolah yang dibebankan secara individu atau kelompok, kehadiran yang teratur, menaati tata tertib sekolah dan saling menghargai antar murid. Orang tua menciptakan suasana kondusif untuk belajar di rumah dan menjadi teladan sebagai model belajar. Sekolah berkewajiban memberikan pelayanan terbaik di bidang akademik dan non akademik, pendidikan karakter, rasa aman, dan menginformasikan kemajuan/hambatan akademik/moral siswa pada orang tua.
c. Diskusi Moral antara Orang Tua dan Anak
baik orang tua maupun psikolog mengakui kedekatan hubungan antara orang tua dan anaknya semakin sulit seiring bertambah dan berkembangnya usia dan mental mereka. Akan tetapi saling pengertian dan komunikasi yang terus menerus akan tetap terjaga pada saat kedua belah pihak tetap menjaga rasa percaya, dan rasa percaya hal terpenting untuk menjadi orang tua yang baik. Topik-topik moral dapat didiskusikan di rumah dengan tetap berpegang pada rasa saling percaya dan orang tua menjadi teladannya.
7. Penerapan Pendidikan Karakter dalam Mata Pelajaran Bahasa Inggris
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Mata Pelajaran Bahasa Inggris sangatlah memungkinkan para guru sebagai ujung tombak terdepan di dunia pendidikan melakukan inovasi pembelajaran sesuai dengan lingkungan sekolah dan tuntutan masyarakat sekitarnya. Strategi implementasi pendidikan karakter dalam mata pelajaran bahasa Inggris di sekolah dapat dilakukan melalui pola mengintegrasikannya ke dalam setiap pokok bahasan/tema. Dalam konteks ini pendidikan karakter merupakan kristalisasi dan akomodasi dari berbagai pengalaman hidup masyarakat yang seoptimal mungkin dapat diintegrasikan ke dalam materi pembelajaran. Jadi implementaasi pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran berarti mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam setiap pokok bahasan/tema mata pelajaran. Pembelajaran karakter dapat dilaksanakan secara individual maupun kelompok dengan berlandaskan kebutuhan belajar setiap anak. Pembelajaran karakter dimulai dengan memperkaya setiap siswa tentang kesadaran dirinya (self awareness), membentuk citra diri yang positif dan memotivasi siswa untuk bertanggunbg jawab terhadap dirinya dan sesama. Langkah selanjutnya adalah membimbing siswa untuk dapat mengatur diri dan berinteraksi secara sehat dengan orang lain. Budi pekerti yang baik dibutuhkan untuk menghormati diri sendiri dan orang lain. Pendidikan karakter harus harus menggunakan cara yang terarah dan terpadu untuk para guru sehingga mampu memberikan pengetahuan dan keterampilan pada siswanya. Pendidikan karakter terkait dengan semua aspek pengalaman yang terdapat di sekolah. Program pendidikan karakter ini digunakan oleh guru dan siswa untuk mengevaluasi kinerja (performance) mereka baik secara individual dan kelompok serta untuk memberi pemahaman tentang perilaku sosial yang akan menunjang dalam kehidupan di masyarakat.
Antara mata pelajaran Bahasa Inggris, karakter dan kehidupan nyata terdapat hubungan yang erat hal ini dapat terlihat dari gambar berikut.
Dari gambar diatas dapat diterangkan sebagai berikut :
Identifikasi pendidikan karakter yang diperlukan untuk menghadapai kehidupan nyata di masyarakat. Selanjutnya diidentifikasi pokok bahasan/tema yang selanjutnya dikemas dalam bentuk mata pelajaran.
Pemberian bekal karakter bagi peserta didik pada gambar diatas ditunjukkan dengan anaka panah bergaris tegas, yaitu apa yang dipelajari pada mata pelajaran bahasa Inggris diharapkan dapat membentuk karakter yang nantinya diperlukan pada saat yang bersangkutan memasuki kehidupan nyata di masyarakat. Model pembelajaran terpadu (integrated learning), pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) atau CTL dan model pendidikan realistic (realistic education) yang kini sedang berkembang juga merupakan upaya mengatur antara pendidikan sesuai kebutuhan nyata peserta didik agar hasilnya dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.berikut ini adalah beberapa keterampilan Fungsional untuk Pendidikan Karakter yaitu:
• Salam dan Respon
• Permintaan Maaf dan respon
• Permisi dan respon
• Minta tolong dan respon
• Mengajak dan respon
• Menawarkan bantuan dan respon
• Permintaan pengulangan
1. Salam dan Respon
• Good morning
• How are You?
Respon
• : Good morning
• : Fine, thanks
2. Permintaan Maaf dan Respon
A: I’m sorry for coming late, I couldn’t sleep last night
B: Not at all, what happened?
A: Preparing presentation now
3. Permisi dan Respon
X: Excuse me, my family is waiting for me.
X: Would You excuse me, I’ll go to kitchen right now.
Respons
Y: Please,
Y: I apreciate it.
4. Minta tolong dan Respon
• Can You help me?
• Would You like to help me?
• Could You get that magazine for me?
• Would You mind plucking young coconut?
Respon
• Sure, I can
• I’m sorry, I’m very busy
• All right
• Never mind
5. Mengajak dan Respon
• What about helping our parents on vacation?
• Let’s work harder to get better
Respon
• That is a good idea
• I don’t disagree with You
• Why not, let’s do right now
• How about going to library?
6. Menawarkan Bantuan dan Respon
• What can I do for You?
• Can I help You?
• Do You need any help?
Respon
• Thank You, I appreciate
• Thanks, I can do by myself
• Thanks, hopefully next time
7. Permintaan Pengulangan
Pardon please.
Pardon me please.
I beg your pardon.
Penutup
Karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang pembentukannya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah - nature) dan lingkungan (sosialisasi atau pendikan – nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia sebelum dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini.
Meskipun semua pihak bertanggung jawab atas pendidikan karakter calon generasi penerus bangsa (anak-anak), namun keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Untuk membentuk karakter anak keluarga harus memenuhi tiga syarat dasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental. Selain itu, jenis pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya juga menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak di rumah. Kesalahan dalam pengasuhan anak di keluarga akan berakibat pada kegagalan dalam pembentukan karakter yang baik.
Kegagalan keluarga dalam melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, akan mempersulit institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) dalam upaya memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak-anak mereka dalam keluarga.
Dalam rangka pembentukan karakter peserta didik perlu adanya kerjasama, komunikasi, komitmen antar orang tua dan sekolah juga perlu adanya interaksi antar orang tua di sekolah itu untuk memecahkan persoalan di antara anak mereka. sedangkan topik-topik moral dapat pula didiskusikan di rumah dengan tetap berpegang pada rasa saling percaya dan orang tua menjadi teladannya
pendidikan karakter pada mata pelajaran bahasa Inggris digunakan oleh guru dan siswa untuk mengevaluasi kinerja (performance) mereka baik secara individual dan kelompok serta untuk memberi pemahaman tentang perilaku sosial yang akan menunjang dalam kehidupan di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Badingah, S. (1993). Agresivitas Remaja Kaitannya dengan Pola Asuh, Tingkah Laku Agresif Orang Tua dan Kegemaran Menonoton Film Keras. Program Studi Psikologi – Pascasarjana, UI. Depok.
Coon, Dennis. (1983). Introduction to Psychology : Exploration and Aplication. West Publishing Co.
http://encyclopedia.thefreedictionary.com. Diakses tanggal 26 April 2004.
Hurlock, E.B. 1981. Child Development. Sixth Edition. McGraw Hill Kogakusha International Student.
Megawangi, Ratna. (2003). Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani. IPPK Indonesia Heritage Foundation.
Vasta, Ross, at all. (1992). Child Psychology : The Modern Science. John Wiley & Sons Inc.
Jarwo Nurtokhid *
Komentar
Posting Komentar
terima kasih atas tanggapan anda