PENGARUH BERBICARA CADEL TERHADAP PERKEMBANGAN BELAJAR
PENGARUH BERBICARA CADEL TERHADAP PERKEMBANGAN BELAJAR
I. Landasan Teori
Manusia adalah mahluk sosial yang hidup dalam suatu lingkungan tertentu. Pada lingkungan ini mereka saling berinteraksi dan berkomunikasi antar satu dan yang lainnya. Untuk itu manusia dituntut terampil menyatakan pendapat, pikiran, gagasan, ide dan perasaannya. Dalam konteks seperti ini keterampilan seseorang dalam berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis sangat diperlukan.
Alasan lain akan pentingnya keterampilan berkomunikasi adalah, dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat terhindar dari aktivitas berkomunikasi. Di lingkungan keluarga dia berkomunikasi dengan keluarganya, di lingkungan sekolah dia berkomunikasi dengan guru, teman-teman dan seluruh warga sekolah, di pasar dia berkomunikasi dengan pedagang, di lingkungan masarakat dia berkomunikasi dengan tetangga. Intensitas kesempatan berkomunikasi yang tinggi tersebut menuntut suatu keterampilan agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh si penerima.
Komunikasi terdiri dari komunikasi lisan (berbicara) dan tertulis, Berbicara merupakan alat komunikasi yang paling efektif karena melalui berbicara kita dapat saling berinteraksi secara dua arah sehingga respon dari lawan bicara dapat dirasakan seketika itu juga. Ketiga, Dalam kaitannya dengan pemerolehan bahasa, kemampuan berbicara dapat menjadi dasar bagi kemampuan berbahasa lainnya (Tarigan: 1986:24)
Penulis tertarik untuk meneliti keterampilan berbicara dan menulis pada siswa kelas 2 SD yang masih berbicara cadel. Pada umumnya perkembangan bicara dikelompokkan dalam kelompok umur, hal ini dikarenakan ciri-ciri umum yang selalu ditemukan dalam kelompok umur tersebut. Akan tetapi ada juga pengecualian, anak tertentu lebih cepat perkembangan bicaranya dan anak yang lain lambat. Pada anak yang mengalami keterbatasan dalam berbicara (cadel) dan berbahasa maka di dalam komunikasi dengan mereka, orang dewasa harus menyadari kekurangan anak tersebut. Pda usia anak-anak biasanya mulai senang berbicara akan tetapi sering terjadi ketidakseimbangan antara kecepatan dalam berbicara dengan kecepatan berpikir. Anak sebenarnya ingin berbicara banyak akan tetapi fungsi fisiologis (otot bicara) belum sempurna, sehingga apa yang dia maksud tidak sesuai dengan yang dicapkan.
Cadel adalah ketidakmampuan mengucapkan satu huruf unik, umumnya huruf R, meski ada juga sebagian orang yang justru bisa menyebut huruf R, namun cadel untuk huruf lainnya. Orang Jepang misalnya, kebanyakan cadel pada huruf L. Ada beragam variasi cadel pada anak. Ada yang menyebut “R” jadi “L”, “K” jadi “T”, “K” jadi “D”, atau “S” dengan “T”, sering terbalik-balik. Tetapi tiap anak variasinya berbeda-beda. Jadi yang dimaksud dengan cadel adalah kesalahan dalam pengucapan.
Memang semestinya pada rentang usia pra-sekolah, anak sudah bisa mengucapkan seluruh konsonan dengan baik. Sebab menginjak usia 3-4 tahun, otot-otot lidahnya mulai matang. Hanya saja, perkembangan setiap anak berbeda. Jadi wajar meski usianya sama tapi masih ada anak yang cadel.
Sayangnya, cukup sulit mendeteksi, apakah kecadelan di usia 3-5 tahun akan berlanjut terus atau tidak karena menyangkut sistem saraf otak yang mengatur fungsi bahasa, yakni area broca yang mengatur koordinasi alat-alat vokal dan area wernicke untuk pemahaman terhadap kata-kata.
Kerusakan pada area broca disebut motor aphasiam yang membuat anak lambat bicara dan pengucapannya tak sempurna sehingga sulit dimengerti. Sedangkan kerusakan pada area wernicke disebut sensori aphasia di mana anak dapat berkata-kata tapi sulit dipahami orang lain dan dia pun sulit untuk mengerti kata-kata orang lain.
Tak hanya itu, kesulitan mendeteksi juga disebabkan pada rentang usia 3-5 tahun kemampuan anak masih berkembang. Artinya dia sedang dalam proses belajar berbicara. Ia tengah berada pada fase mulai menyesuaikan, mulai menambah perbendaharaan kata, meningkatkan pemahaman mengenai bahasa dan perkembangan makna kata. Termasuk juga penguasaan konsonan.
Kendati demikian, orang tua sebaiknya tidak membiarkan kecadelan anaknya, karena semakin lama akan semakin sulit diluruskan, sehingga bisa jadi si anak akan terus berada dalam kecadelannya. Apalagi cadel tak akan hilang secara otomatis meski kadar keseringannya berkurang. Jadi, berikanlah stimulasi agar cadelnya tak berkelanjutan.
Bila cadel dibiarkan, maka di usia sekolah nanti dapat menyebabkan anak merasa berbeda dengan teman-temannya. Buntutnya, anak menjadi malu dan merasa asing dari orang lain. Bisa-bisa ia tak mau bila disuruh berbicara di depan kelas karena takut ditertawakan teman-temannya. Akibatnya, anak jadi minder dan menarik diri.
Terakhir, rasa minder itu akan mempengaruhi self esteem atau harga diri si anak yang dapat berlanjut ke konsep diri. Tugas orang tualah untuk membangunkan harga diri anak agar ia tak minder. Caranya dengan menonjolkan kelebihan si anak sehingga dia tetap percaya diri.
Manusia adalah mahluk sosial yang hidup dalam suatu lingkungan tertentu. Pada lingkungan ini mereka saling berinteraksi dan berkomunikasi antar satu dan yang lainnya. Untuk itu manusia dituntut terampil menyatakan pendapat, pikiran, gagasan, ide dan perasaannya. Dalam konteks seperti ini keterampilan seseorang dalam berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis sangat diperlukan.
Alasan lain akan pentingnya keterampilan berkomunikasi adalah, dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat terhindar dari aktivitas berkomunikasi. Di lingkungan keluarga dia berkomunikasi dengan keluarganya, di lingkungan sekolah dia berkomunikasi dengan guru, teman-teman dan seluruh warga sekolah, di pasar dia berkomunikasi dengan pedagang, di lingkungan masarakat dia berkomunikasi dengan tetangga. Intensitas kesempatan berkomunikasi yang tinggi tersebut menuntut suatu keterampilan agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh si penerima.
Komunikasi terdiri dari komunikasi lisan (berbicara) dan tertulis, Berbicara merupakan alat komunikasi yang paling efektif karena melalui berbicara kita dapat saling berinteraksi secara dua arah sehingga respon dari lawan bicara dapat dirasakan seketika itu juga. Ketiga, Dalam kaitannya dengan pemerolehan bahasa, kemampuan berbicara dapat menjadi dasar bagi kemampuan berbahasa lainnya (Tarigan: 1986:24)
Penulis tertarik untuk meneliti keterampilan berbicara dan menulis pada siswa kelas 2 SD yang masih berbicara cadel. Pada umumnya perkembangan bicara dikelompokkan dalam kelompok umur, hal ini dikarenakan ciri-ciri umum yang selalu ditemukan dalam kelompok umur tersebut. Akan tetapi ada juga pengecualian, anak tertentu lebih cepat perkembangan bicaranya dan anak yang lain lambat. Pada anak yang mengalami keterbatasan dalam berbicara (cadel) dan berbahasa maka di dalam komunikasi dengan mereka, orang dewasa harus menyadari kekurangan anak tersebut. Pda usia anak-anak biasanya mulai senang berbicara akan tetapi sering terjadi ketidakseimbangan antara kecepatan dalam berbicara dengan kecepatan berpikir. Anak sebenarnya ingin berbicara banyak akan tetapi fungsi fisiologis (otot bicara) belum sempurna, sehingga apa yang dia maksud tidak sesuai dengan yang dicapkan.
Cadel adalah ketidakmampuan mengucapkan satu huruf unik, umumnya huruf R, meski ada juga sebagian orang yang justru bisa menyebut huruf R, namun cadel untuk huruf lainnya. Orang Jepang misalnya, kebanyakan cadel pada huruf L. Ada beragam variasi cadel pada anak. Ada yang menyebut “R” jadi “L”, “K” jadi “T”, “K” jadi “D”, atau “S” dengan “T”, sering terbalik-balik. Tetapi tiap anak variasinya berbeda-beda. Jadi yang dimaksud dengan cadel adalah kesalahan dalam pengucapan.
Memang semestinya pada rentang usia pra-sekolah, anak sudah bisa mengucapkan seluruh konsonan dengan baik. Sebab menginjak usia 3-4 tahun, otot-otot lidahnya mulai matang. Hanya saja, perkembangan setiap anak berbeda. Jadi wajar meski usianya sama tapi masih ada anak yang cadel.
Sayangnya, cukup sulit mendeteksi, apakah kecadelan di usia 3-5 tahun akan berlanjut terus atau tidak karena menyangkut sistem saraf otak yang mengatur fungsi bahasa, yakni area broca yang mengatur koordinasi alat-alat vokal dan area wernicke untuk pemahaman terhadap kata-kata.
Kerusakan pada area broca disebut motor aphasiam yang membuat anak lambat bicara dan pengucapannya tak sempurna sehingga sulit dimengerti. Sedangkan kerusakan pada area wernicke disebut sensori aphasia di mana anak dapat berkata-kata tapi sulit dipahami orang lain dan dia pun sulit untuk mengerti kata-kata orang lain.
Tak hanya itu, kesulitan mendeteksi juga disebabkan pada rentang usia 3-5 tahun kemampuan anak masih berkembang. Artinya dia sedang dalam proses belajar berbicara. Ia tengah berada pada fase mulai menyesuaikan, mulai menambah perbendaharaan kata, meningkatkan pemahaman mengenai bahasa dan perkembangan makna kata. Termasuk juga penguasaan konsonan.
Kendati demikian, orang tua sebaiknya tidak membiarkan kecadelan anaknya, karena semakin lama akan semakin sulit diluruskan, sehingga bisa jadi si anak akan terus berada dalam kecadelannya. Apalagi cadel tak akan hilang secara otomatis meski kadar keseringannya berkurang. Jadi, berikanlah stimulasi agar cadelnya tak berkelanjutan.
Bila cadel dibiarkan, maka di usia sekolah nanti dapat menyebabkan anak merasa berbeda dengan teman-temannya. Buntutnya, anak menjadi malu dan merasa asing dari orang lain. Bisa-bisa ia tak mau bila disuruh berbicara di depan kelas karena takut ditertawakan teman-temannya. Akibatnya, anak jadi minder dan menarik diri.
Terakhir, rasa minder itu akan mempengaruhi self esteem atau harga diri si anak yang dapat berlanjut ke konsep diri. Tugas orang tualah untuk membangunkan harga diri anak agar ia tak minder. Caranya dengan menonjolkan kelebihan si anak sehingga dia tetap percaya diri.
Bahasa merupakan alat ukur dalam perkembangan anak. Kemampuan berbicara melibatkan perkembangan kognitif, sensorimotor, psikologis, dan lingkungan sekitar anak. Kemampuan berbahasa pada umumnya dibedakan atas kemampuan reseptif (mendengar dan memahami) dan kemampuan produktif (berbicara, menulis). Kemahiran dalam berbicara dan menulis dipengaruhi oleh faktor intrinsik (dari anak) dan faktor ekstrinsik (dari lingkungan). Faktor intrinsik yaitu kondisi pembawaan sejak lahir termasuk fisiologi dari organ yang terlibat dalam kemampuan berbicara. Sedangkan faktor ekstrinsik berupa stimulus yang ada di sekitar anak terutama perkataan yang didengar atau ditujukan kepada si anak. Berdasarkan hal itu penulis melakukan penelitian terhadap anak yang bicaranya cadel, yaitu:
Nama : Prasaca Pigama Priyaninditha
Nama Panggilan : Ditha
Tanggal lahir : 26 Mei 2002
Kelas : II
Alamat : Kp. Cilanggar Desa Kadumadang Kec. Cimanuk Pandeglang
Pada kasus Ditha cadelnya adalah kesulitan mengucap konsonan ”r” yang selalu tertukar dengan konsonan ”l”. Dalam menghadapi situasi tersebut, secara santai dan dan penuh kebapakan sering berkomunikasi pada Ditha di lingkungan rumah, saat bermain, belajar di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah, menanyakan hal-hal yang dia sukai atau tidak sukai, mengungkapkan persaan suka atau pun tidak suka pada yang dia rasakan. Pada saat belajar penulis meyruhnya membaca nyaring dan mendiktekan kalimat-kalimat.
II. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah penelitian seperti yang telah diuraikan diatas, timbul beberapa pertanyaan pada penulis yakni:
1. Apa penyebab anak menjadi cadel?
2. Apa yang dapat menyebabkan cadel bicara pada anak?
3. Adakah pengaruh keluarga terhadap perkembangan bicara anak?
4. Bagaimana cara mengatasi gagap berbicara pada anak?
III. Diagnosis
Sebagian masyarakat percaya pada mitos yang mengatakan anak laki-laki lebih lambat menguasai kemampuan bicara dibanding anak perempuan. Padahal penelitian yang ada menunjukkan prosentase kemampuan bicara antara anak laki-laki dengan anak perempuan sama saja. Apalagi kemampuan bicara manusia sebetulnya sudah terlihat sejak ia dilahirkan, ditandai dengan tangisan bayi begitu keluar dari rahim ibunya.
Mitos itu mungkin muncul karena keterlambatan bicara pada anak laki-laki lebih cepat terdeteksi daripada anak perempuan. Bukankah perilaku anak laki-laki yang lebih aktif dan agresif mampu menarik perhatian orang di sekitarnya, sehingga kalau ada sesuatu yang terjadi padanya akan lekas ketahuan. Berbeda halnya dengan bayi perempuan yang kebanyakan lebih kalem walaupun tidak mesti begitu.
Umumnya pada usia 5 tahun, anak sudah tidak cadel lagi karena kematangan otot-ototnya sudah menyerupai orang dewasa. "Paling lambat usia 6 tahun. Kalau sampai umur ini dia masih cadel, berarti ada kelainan. Bisa kita duga si anak mengalami defisiensi kemampuan fonologis, yaitu ketidakmampuan untuk mengucapkan konsonan tertentu," terang Evi Sukmaningrum dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta.
Sayangnya, sulit untuk mendeteksi, apakah kecadelan di usia 3-5 tahun akan berlanjut terus atau tidak. Soalnya, ini menyangkut sistem syaraf otak yang mengatur fungsi bahasa, yakni area broca yang mengatur koordinasi alat-alat vokal dan area wernicke untuk pemahaman terhadap kata-kata. Kerusakan pada area broca disebut motor aphasiam yang membuat anak lambat bicara dan pengucapannya tak sempurna sehingga sulit dimengerti. Sedangkan kerusakan pada area wernicke disebut sensori aphasia di mana anak dapat berkata-kata tapi sulit dipahami orang lain dan dia pun sulit untuk mengerti kata-kata orang lain.
Nah, dalam belajar berbicara, pemahaman terhadap kata-kata akan muncul lebih dulu. Baru kemudian anak bisa memproduksi kata-kata alias ngomong. Merujuk pada tingkatan perkembangan bahasa anak, di usia 1,5-2 tahun biasanya ia sudah bisa berkata, "Mama", "Papa", "Dada" dan sebagainya. Di usia 3 tahun, minimal anak sudah bisa mengkombinasikan dua kata, "Mama pergi" atau "Mau susu", dan sebagainya.
Jika anak belum mampu berbicara sesuai tingkat perkembangannya, kita patut curiga. Bukan curiga pada masalah cadelnya tetapi, "Kenapa, kok, enggak bisa ngomong seperti anak-anak lain seusianya," terang Evi.
Selain itu, kesulitan mendeteksi juga disebabkan anak usia 2-6 tahun masih berkembang. Artinya, dia sedang dalam proses belajar berbicara. "Ia tengah berada pada fase mulai menyesuaikan, mulai menambah perbedaharaan kata, meningkatkan pemahaman mengenai bahasa dan perkemba
IV. Prognosis
Kurang matangnya koordinasi bibir dan lidah menjadi salah satu penyebab cadel. Kemampuan mengucapkan kata-kata, vokal dan konsonan secara sempurna sangat bergantung pada kematangan sistem saraf otak, terutama bagian yang mengatur koordinasi motorik otot-otot lidah. Untuk mengucapkan konsonan tertentu, seperti ‘R’, diperlukan manipulasi yang cukup kompleks antara lidah, langit-langit, dan bibir.
Cara mengatasinya, orang tua harus meluruskan dengan cara menuntun anak melafalkan ucapan yang benar. Tetapi ingat, orang tua tak boleh memaksakan anak harus langsung bisa. Apalagi jika saat itu belum tiba waktu kematangannya untuk mampu melakukan hal tersebut. Pemaksaan hanya membuat anak jadi stres, sehingga akhirnya dia malah mogok berusaha meningkatkan kemahiran berbahasanya. Lakukan pula kerja sama dengan guru, sehingga dapat diperoleh hasil yang lebih maksimal.
Cadel juga bisa disebabkan karena kelainan fisiologis. Namun cadel yang disebabkan oleh kelainan fisiologis jumlahnya sangat sedikit. Penyebabnya dibedakan menjadi tiga, yakni gangguan pada bagian pendengaran; gangguan pada otak; dan gangguan di wilayah mulut.
Adapun gangguan pada bagian pendengaran bisa berupa adanya kerusakan atau ketidaksempurnaan pada organ-organ yang terdapat di telinga, sehingga bisa mempengaruhi pendengaran. Akibatnya informasi yang diperoleh tidak lengkap sehingga berdampak pada daya tangkap dan tentunya juga mempengaruhi kemampuan berbicaranya.
Sementara itu gangguan pada otak kategorinya beragam. Di antaranya adalah perkembangan yang terlambat, atau karena penyakit yang diderita seperti radang selaput otak, atau kejang terus-menerus. Beragam gangguan ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi otak sehingga berdampak pada gangguan bicara. Salah satunya adalah cadel.
Sedangkan gangguan di wilayah mulut disebabkan adanya kelainan pada organ-organ di mulut (langit-langit, lidah, bibir, rahang, dan lain-lain). Misal, bibir sumbing, langit-langitnya terlalu tinggi, lidah yang terlalu pendek, rahang yang terlalu lebar, terlalu sempit, atau memiliki bentuk yang tidak proporsional. Namun umumnya kelainan pada organ mulut ini sangat jarang terjadi.
Kelainan fisiologis dapat diatasi, tergantung oleh berat ringan penyebabnya. Umumnya bila penyebabnya termasuk kategori berat, maksudnya penyakitnya tak dapat disembuhkan atau kelainan organnya tak dapat dikoreksi, maka bisa menjadi cadel yang menetap. Namun bila tergolong ringan, maka cadelnya tidak menetap.
Penyebab cadel lainnya adalah faktor lingkungan. Misal, karena meniru orang tuanya. Banyak orang tua yang menanggapi cadel anaknya dengan kecadelan pula. “Dengalkan ucapan bapak (dengarkan, pen).” Akibatnya malah bisa membuat anak jadi terkondisi untuk terus bicara cadel. Padahal saat anak belajar berbicara, ia bisa mengucapkan suatu kata tertentu karena meniru. Nah, kalau orang tua atau orang-orang yang berada di lingkungan terdekatnya berkata cadel, ia akan berpikir itulah yang benar. Jadilah ia cadel sungguhan.
Begitu juga jika ayah atau ibunya cadel (sungguhan). Kemungkinan anak tak pernah mendengar dan belajar bagaimana seharusnya mengucapkan konsonan tertentu. Cara mengatasinya, orang tua harus menghentikan kebiasaan berkata cadel dan melakukan koreksi. Amati dengan jeli. Contoh, bila hari ini bisa namun keesokan harinya tidak bisa, maka tugas orang tua segera mengoreksi dengan menyebutkan yang sebenarnya.
Mintalah kepada anak untuk mengulanginya beberapa kali. Namun, jangan memaksa. Berikan penghargaan bila ia kembali mampu mengucapkannya dengan baik. Jika orang tua memang cadel, mintalah orang-orang yang berada di lingkungan terdekat untuk memberikan stimulasi kepada anak.
Faktor psikologis juga bisa menyebabkan cadel. Contoh, untuk menarik perhatian orang tuanya karena kehadiran adik. Yang semula tidak cadel, tiba-tiba menjadi cadel karena mengikuti gaya berbicara adiknya. Cara mengatasinya, orang tua harus menunjukkan bahwa perhatian kepadanya tidak akan berkurang karena kehadiran adik. Selain itu, orang tua juga harus terus mengajak anak bicara dengan bahasa yang benar, jangan malah menirukan pelafalan yang tidak tepat.
Demi menghindari timbulnya cadel, penulis memberikan stimulasi pengucapan yang benar dengan kata lain tidak menirukan bicara cadel yang dihasilkan oleh Ditha.
Jangan pula menghilangkan konsonan tertentu dalam berbicara. Ini kerap dilakukan tanpa disadari oleh orang dewasa dengan alasan memudahkan. Yang paling sering adalah konsonan “R”, semisal “pergi” jadi “pegi” atau “es krim” jadi “ekim”.
V. Remedial
Gerakan anggota badan yang dihubungkan dengan anak cadel adalah gerakan otot bibir, lidah, dan rahang saat berbicara. kepada siapa saja anak cadel selalu mengalami kesulitan menggunakan konsonan ”r”, seluruh kata yang terdapat konsonan ”r” akan selalu diucapkan dengan konsonan ”l”, di satu sisi pendengar memang tahu apa yang dimaksud, pada saat menggunakan bahasa tulis, sering terjadi ”tukar konsonan” contoh pada frase ”berat” 27 kg maka hasil tulisannya menjadi ”belat” 27 kg, malaikat Jibril menjadi ”Jiblir”, kata ”seluruh ” menjadi ”seruruh” dan lain-lain.
Dalam melakukan terapi, yang berhubungan dengan otot lidah yang belum matang pertumbuhannya penulis melakukan hal-hal sebagi berikut :
1. Meniup lilin, bubble (gelembung sabun).
2. Menyedot cairan, mulai dari yg tdk terlalu kental (misalnya susu, jus buah), sampai yg tingkat kekentalannya cukup tinggi (jus alpukat, mangga, atau agar-agar). Untuk aktivitas menyedot ini, penulis menyediakan gelas dan sedotan berulir, sehingga anak harus menyedot/menghisap dengan kuat. Tentunya hal ini diberikan secara bertahap, mulai dr yg tingkat kesulitannya rendah agar anak tdk langsung frustasi.
3. Menjilat. Dalam hal ini, penulis mengoleskan madu, es krim atau coklat yg disukai anak pada bibirnya. Setelah itu, penulis meminta anak untuk menjilat bibirnya tsb dengan lidahnya.
4. Bermain harmonika atau alat musik tiup lain seperti terompet atau seruling.
5. Hal lain yg penulis lakukan adalah dengan meminta anak untuk berbicara secara perlahan, karena semakin terburu-buru dia berbicara, maka semakin tidak jelas ucapannya. Untuk memahami dan memperlahan kecepatan bicaranya, penulis mengulang atau memparafrasekan apa yg sdh diucapkan anak, misalnya : “Oohh… Jadi sewaktu Kakak pulang sekolah tadi, Kakak melihat anjing yang sedang mengejar-ngejar kucing ya?” dengan tetap mengucapkan kata mengejar-ngejar yang secara langsung mendengar perbedaan antara konsonan ”l” dengan ”r”.
VI. Evaluasi
Kemampuan berbicara seorang anak tidak dapat disama ratakan mengingat setiap individu memiliki karakter yang berlainan erutama dalam lafal, dialek, pemilihan kata, dan pemilihan intonasi.
Pemberian tes kemampuan berbicara harus dilakukan dengan tepat yang sesuai dengan sasaran, hakekat, dan sifat kegiatan berbicara yakni sebagai penggunaan kemampuan berbicara yang aktif dan produktif. Tes kemampuan berbicara dan menulis paling baik diterapkan pada penilaian subyektif untuk anak berbicara cadel, dengan asumsi pendengar maupun pembaca dapat mengerti dan memahami maksud yang anak tadi mengucapkan atau pun menulisnya. Dalam penyelenggaraan tes subyektif diperlukan rambu-rambu penskoran. Pada tes kemampuan menulis, penulis menggunakan skala penilaian sebagai berikut :
No Aspek yang dinilai Tingkatan Skala
1 Keakuratan Informasi (sangat buruk --- akurat sepenuhnya) 1 2 3 4
2 Hubungan antar informasi (Sangat sedikit ---berhubungan dengan sepenuhnya) 1 2 3 4
3 Ketepatan Struktur dan Kosa Kata (tidak tepat --- tepat sekali) 1 2 3 4
4 Ketersambungan antar kalimat (tidak terhubung --- sangat terhubung) 1 2 3 4
5 Kewajaran Urutan Wacana (tidak normal --- normal) 1 2 3 4
Jumlah Skor ..............
Pada point nomor 3, guru harus hati-hati dalam menilai, anak cadel sering melakukan kekeliruan dalam penempatan konsonan yang seharusnya. Guru harus jeli menyikapinya.
Pada tes kemampuan membaca digunakan skala penilaian sebagai berikut:
No Aspek yang dinilai Tingkatan Skala
1 Keakuratan Informasi (sangat buruk --- akurat sepenuhnya) 1 2 3 4
2 Hubungan Antarinformasi (Sangat sedikit ---berhubungan dengan sepenuhnya) 1 2 3 4
3 Ketepatan Struktur dan Kosa Kata (tidak tepat --- tepat sekali) 1 2 3 4
4 Kelancaran (terbata-bata --- lancar sekali) 1 2 3 4
5 Kewajaran Urutan Wacana (tidak normal --- normal) 1 2 3 4
6 Gaya Pengucapan (kaku --- wajar) 1 2 3 4
Jumlah Skor ..............
Dikutip dari Nurgiantoro (1995) dengan penyesuaian oleh penulis
juga pada tes kemampuan berbicara menggunakan rambu-rambu penskoran sebagai berikut:
NO UNSUR KEMAMPUAN BERBICARA RINCIAN KEMAMPUAN
1 Isi yang relevan Isi wacana lisan sesuai dan relevan dengan topik yang dimaksud untuk dibahas.
2 Organisasi yang sistematis Isi wacana disusun secara sistematis menurut suatu pola tertentu.
3 Penggunaan bahasa yang baik dan benar Wacana diungkapkan dalam bahasa dengan susunan kalimat yang gramatikal, pilihan kata yang tepat, serta intonasi dan pelafalan yang jelas.
(Djiwandono, 2008:120)
Pelafalan pada anak cadel yang kesulitan menyebut konsonan tertentu tidak mengurangi nilai, sesuai dengan kemampuan perkembangan otot suaranya sehingga pendengar memahami maksud yang diungkapkan olehnya.
Berikut ini penulis paparkan beberapa soal yang diberikan pada Ditha;
A. membaca teks wacana derngan lafal dan intonasi yang tepat.
Baju Baru
Sela mendapat baju baru. Baju itu berwarna biru. Ibu membeli baju itu hari Minggu. Baju itu hadiah untuk Sela. Sela berhasil menjadi juara satu. Oh betapa senang hati Sela.
Inilah hasil ucapan Ditha saat membaca teks di atas.
Sela mendapat baju balu. Baju itu belwalna bilu. Ibu membeli baju itu hali Minggu. Baju itu hadiah untuk Sela. Sela belhasil menjadi juala satu. Oh betapa senang hati Sela.
B. Dikte
Berikut ini kalimat yang penulis diktekan
1. Sepatu baru Dimas berwarna hitam.
2. Sita membeli buku tulis baru.
3. Harga buku tulis itu seribu rupiah.
4. Ayah memberiku sepeda baru.
5. Sepeda itu berwarna biru
Dan ini hasil pekerjaan Ditha .
1. Sepatu balu Dimas belwalna hitam.
2. Sita memberi buku turis balu.
3. halga buku tulis itu selibu lupiah.
4. Ayah membeliku sepeda balu.
5. Sepeda itu belwalna bilu
Daftar Pustaka
Djiwandono S. 2008. Tes Bahasa. Jakarta. Indeks.
http://cahyandariwr.blog.friendster.com/mengatasi-cadel-pada-anak/
http://khairinamozza.tumblr.com/post/453993207/definisi-cadel-dan-cara-mencegah-cadel
http://pembelajaran-anak.blogspot.com/
http://rumahbungamatahari.wordpress.com/biro-psikologi-anak-dan-keluarga/pernak-pernik-balita/cadel-anak-usia-5-tahun
Nurcholis Hanif dan Mafrukhi. 2002 Saya Senang Berbahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar Kelas II. Jakarta, Penerbit Erlangga.
Sardjono. 2005. Terapi Wicara. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Srtiawan, Conny R. 1999. Perkembangan dan Belajar Peserta Didik. Semarang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Komentar
Posting Komentar
terima kasih atas tanggapan anda